Select a type of content

Adiksi Padi: Warisan Zaman Dahulu yang Semakin Mengkhawatirkan

  • 0
  • 0
  • 0
  • 0

Padi Images - Free Download on Freepik

Gambar 1. Padi (Sumber: Freepik)

Kita seringkali membaca kalimat “Indonesia adalah negeri yang kaya akan keanekaragaman hayatinya” atau bahkan menuliskannya pada tugas-tugas esai saat zaman sekolah dahulu. Namun, apakah realitanya masih seperti itu? Dahulu, Indonesia memang benar memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah. Namun, sekarang? Jangankan memakannya, mengetahui bentuknya pun mungkin tidak. Bahkan mungkin, namanya pun baru kali pertama ini bergaung di telinga. Sebagai contoh, jika kita kerucutkan pembahasan kita untuk berada hanya pada ranah tanaman pangan, maka akan keluar beberapa nama. Padi, jagung, dan kentang merupakan nama-nama yang familiar. Namun bagaimana dengan jewawut, suweg, dan ganyong? Terdengar asing, bukan?

Dilansir dari Sejarah Pertanian Indonesia (Kementerian Pertanian, 2019), padi telah menjadi primadona pangan masyarakat Indonesia sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha. Mulanya, pada zaman prasejarah masa berburu dan mengumpulkan makanan, masyarakat Indonesia mengenal padi liar, walaupun jenis pangan utama mereka adalah umbi-umbian liar. Kemudian, pada masa bercocok tanam, masyarakat Indonesia sudah mengenal beberapa komoditas pertanian seperti keladi, sukun, uwi, sagu, padi gogo, dan jewawut. Pada masa itu, pangan pokok masyarakat Indonesia adalah keladi, umbi-umbian, dan sukun. 

Bertahun-tahun selanjutnya pada zaman Kerajaan Hindu-Buddha, pangan pokok masyarakat Indonesia sudah mengalami pergeseran menjadi padi. Hal ini dapat dibuktikan melalui candi yang dibangun dari campuran antara bata dengan kulit padi. Diasumsikan penggunaan kulit padi untuk membangun candi ini menunjukkan banyaknya konsumsi padi pada zaman itu mengingat jumlah candi yang dibangun pada zaman itu relatif banyak. Pada zaman Kerajaan Islam, mulailah menyebar budaya menanam padi di sawah. Budaya ini diperkenalkan oleh Dong Son dari Vietnam Utara dan menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Diduga bahwa pada abad ke-8 sampai ke-13, budaya ini telah berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

Pada zaman Penjajahan Jepang, penelitian yang dilakukan terkait tanaman lebih difokuskan pada komoditas pangan seperti padi dan soba. Pada zaman itu pula, tepatnya pada 1943, dilakukan pelepasan varietas unggul padi yaitu Padi Bengawan yang sampai saat ini masih terus dianjurkan kepada para petani. Selanjutnya, pada zaman pasca kemerdekaan, terdapat kegiatan intensifikasi padi seluas 1.000 hektar yang disebut ‘Padi Sentra’ sejak tahun 1958. Pelaksanaan intensifikasi ini juga dibarengi oleh program ‘Bimbingan Masal’ atau Bimas Penanaman Padi untuk mendorong Indonesia mencapai swasembada beras. Hingga saat ini, masih digalakkan berbagai program untuk meningkatkan produksi padi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), padi atau beras menduduki peringkat pertama sebagai komoditas utama pertanian sejak 1968 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,8% dan kenaikan sebesar 10,6% hingga 1973. Hingga 2019, padi masih menduduki posisi pertama pada produksi komoditas tanaman pangan dengan puncak produksi ada pada tahun 2018 sebesar 83,04 juta ton. 

Lantas, bagaimana dengan jenis komoditas pangan yang lain? Walaupun awalnya mereka memiliki peminat yang relatif cukup banyak, tetapi adanya pergeseran masif ke arah padi menyebabkan peminat mereka menurun drastis, bahkan lama kelamaan namanya sangat jarang disebut. Sebagai contoh, pada tahun 1968, produksi ubi kayu mampu mencapai 11.356 ton. Namun, hanya dalam kurun waktu lima tahun, tepatnya pada 1973, produksi ubi kayu menurun drastis hingga hanya mampu mencapai 3.399 ton. Di sisi lain, komoditas padi meningkat dari 11.666 ton pada 1968 menjadi 14.702 ton pada 1973. 

Adanya ketergantungan masyarakat Indonesia kepada padi tentu mengkhawatirkan. Berdasarkan Kementerian Pertanian (2023), pada tahun 2023, konsumsi padi (beras) oleh masyarakat Indonesia mencapai angka 80,905 kg/kap/tahun. Angka ini relatif tidak jauh berbeda setiap tahunnya dalam kurun waktu 2019 sampai 2023. Namun, angka ini sangat jauh berbeda dengan tingkat konsumsi komoditas pangan lain oleh masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, pada tahun yang sama (2023), masyarakat Indonesia hanya mengonsumsi kedelai sebesar 0,037 kg/kap/tahun dan ubi kayu sebesar 5,608 kg/kap/tahun. Angka-angka ini menunjukkan betapa masyarakat Indonesia sangat bergantung pada padi sebagai bahan makanan pokok dan cenderung abai pada jenis komoditas lainnya atau dengan kata lain diversifikasi pangan di Indonesia relatif cukup rendah.

Rendahnya angka diversifikasi pangan di Indonesia dapat berdampak buruk pada permintaan padi yang relatif tinggi. Bahkan, hingga Indonesia harus mengimpor padi dari negara lain. Padahal sejatinya, berdasarkan paparan Puji Sumedi (Yayasan KEHATI) pada acara Forum Bumi yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI bekerja sama dengan National Geographic Indonesia, terdapat setidaknya 99 pilihan sumber karbohidrat selain padi dari 5.529 tanaman pangan di Indonesia. Angka ini bahkan belum termasuk jenis-jenis lain yang belum terdeteksi. Pilihan sumber karbohidrat selain padi ialah sagu, talas, ubi jalar, ubi kayu, dan kentang, serta beragam jenis sumber karbohidrat lain yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat banyak alternatif sumber karbohidrat bagi rakyat Indonesia. Namun, kecenderungan rakyat Indonesia untuk memilih padi (beras) sebagai makanan pokok tidak terlepas dari pola pikir yang terbentuk sejak zaman dahulu. Bahkan, hingga tercetus kalimat “Belum makan kalau belum makan nasi”. Oleh sebab itu, pemerintah mulai menggalakkan upaya diversifikasi pangan lokal dengan cara menurunkan tingkat konsumsi beras dan meningkatkan angka konsumsi sumber karbohidrat selain beras terutama ubi kayu, jagung, sagu, kentang, pisang, dan talas. Upaya ini merupakan suatu langkah awal untuk melestarikan keanekaragaman komoditas pangan di Indonesia sekaligus menurunkan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap suatu komoditas pangan tertentu. Harapannya, Indonesia dapat menekan angka impor, terutama impor padi (beras).

 Jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya terus meningkat, sedangkan kenaikan lahan pertanian tidak sebesar kenaikan jumlah penduduk. Apabila kita terus mengandalkan komoditas tertentu saja, maka cara pemenuhan kebutuhan pangan adalah dengan meningkatkan jumlah impor. Padahal sejatinya, kita memiliki banyak opsi selain padi, sehingga kita tetap bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia tanpa meningkatkan jumlah impor. Selain itu, adanya perubahan ekstrem pada iklim dan cuaca telah menjadikan kondisi iklim dan cuaca sulit diprediksi. Oleh sebab itu, upaya diversifikasi pangan ini dimaksudkan agar selalu tersedia bahan pangan bagi masyarakat Indonesia terlepas dari apapun kondisi iklim maupun cuacanya.

Apabila ketergantungan Indonesia terhadap padi terus dipertahankan atau bahkan meningkat, maka bukan tidak mungkin bahwa ke depannya akan terjadi kelangkaan jenis komoditas pangan yang lain karena absennya pemberdayaan atau pengembangbiakkan. Oleh sebab itu, kita dapat membantu pemerintah dalam upaya diversifikasi pangan dengan cara turut mengonsumsi komoditas pangan selain padi. Pemilihan komoditas pangan yang kita konsumsi juga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, bagi penderita diabetes, maka dapat beralih dari padi ke singkong atau jagung. Cara lain untuk turut serta dalam upaya diversifikasi pangan adalah dengan bertanam di rumah. Dengan bertanam di rumah, kita dapat menjadikan isi piring kita lebih bervariasi dibandingkan hanya membeli di supermarket yang cenderung memberikan opsi komoditas pangan terbatas. Bertanam sendiri juga membuat kita bisa memilih jenis komoditas pangan yang kita konsumsi dengan menyesuaikannya dengan kebutuhan tubuh kita. Apabila berkebun sendiri dirasa terlalu sulit, maka kita bisa mulai dengan langkah sederhana seperti berbelanja di pasar tradisional dibandingkan supermarket. Pasar tradisional umumnya menyediakan variasi yang jauh lebih banyak ketimbang supermarket. Selain itu, kita juga bisa meminta komoditas yang belum mereka jajakan. Umumnya, mereka dapat langsung memenuhi permintaan kita di keesokan harinya.

Daftar Pustaka

Kementerian Pertanian. (2019). Sejarah Pertanian Indonesia. Bogor: Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian.

Kementerian Pertanian. (2023). Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2023. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 



Posted 01 Nov 2024

Sign Up or Log In
for free to continue reading
  • 0
  • 0

Related articles

0 Comments

Be the first person to leave a comment!

Want to leave a comment?

Sign up or log in now.

Login